Pages

Tuesday 22 June 2010

Sports fever



''put the world in your hand (^^)'

World Cup

I thought watching football can make my brothers and I have something in common to talk about. Unfortunately, it seems that we only have more things to argue about now compared to the time before the World Cup begins. I, as I have the knick for sports, couldn't stop myself from judging the game and be emotionally affected (well, girls.. emotional). My teenage brother began to sulk after Kaka was sent off the field in the match against Ivory Coast (emo jugak), which I didn't care much about. I don't support Brazil anyway, just because. (-.-') The little brother just tagging along, I think for the same reason: he just wanted to find something in common between him and the elder brother. However, since I'm the one who spends more time at home, thus making me appear to be indulged with the World Cup programme more, the little brother eventually spends more time with me compared to with the other brother. The funny things is, this little brother does not support any team in particular; instead, he just trying to be funny by supporting any team that plays against the teams I support. Geram; saja cari pasal.

Well, that was the scene with my family. We're not supporting our own country by the way; but we're arguing as if the teams represent our homeland, or feel that we're part of the teams. <(@.@)> fuyyoyo.

When losing, the referee and the players are always the targets for the fans to relinquish their anger. Fingers shot out to point who to be blamed for the lost. I find it very amusing whenever the umpire makes a call (not the telephone call, baby, no.) whenever foul-play was committed. The accused team and their supporters would throw insults to the umpire, and try to back up the player with any possible reason (which sometimes can be unreasonable). The umpire would appear as being biased towards them. Sometimes, the umpire can make a mistake. Let say, A did not commit a foul play against B; but the umpire said so, thus letting B to have a free-kick. However, would you find B explain to the referee that A did not do it? NO. The opponent team would be relieved with the call and will just continue the game. Here, the umpire appears to be 'very fair'.

Losing

Think. Just because we want to be parts of this World Cup (hey, it's only 'world' cup, not Akhirat cup *gulp*), we offer ourselves a hard time to become the fanatic supporters. We know it is supposed to be a fair game. But, the 'fair-play' is never fair to the losing team or when your favourite player is at fault, right? and the rules of the game can always be manipulated. What more, with the betting system going on all over the world, people will just do almost everything to make sure their bets give them benefits. And when the team lost, you lost your money. You lost your money, and become worried (isn't that money for your child's college fees?)...

I'd simply put the links like this:
team lost = lost money --> become worried --> become emotionally disturbed --> become easily agitated --> someone provokes, you lost your patience --> can't control yourself --> throw punches+insults and threaten... --> lost your dignity (nobility or elevation of character)... OUCH!

Within my limited knowledge (which is also a blessing from Allah The All-Knowing), this is what as far as I can see (Can you see the bigger picture?). Islam forbids any form of 'judi', which at the end there's always a losing side. Judi, rasuah, aurat.... menjadi perkara-perkara yang dipandang enteng. Even the muslims have not protect their tongues from insulting and hurting others; and the Malays are proud to show off their 'excellent competency' in English by shouting insolent words in that language.

Winning

Even winning is not always a favoured situation. Winning equals to showers of praises from the fans and worldly rewards from the sponsors etc. Be careful, my friends. It's not easy to protect our hearts from illness. Riak, ujub and takabbur are parts of the illness. We learnt that the only unforgiven sin is 'shirk'; and we learnt that there are two types of shirk- the major one and the minor/hidden one. Riak, ujub and takabbur are parts of the hidden shirk. Why?

1) Riak- it means showing off in the material world; often associated with expecting rewards (gifts/praises) from humans. Aren't we supposed to expect rewards only from Allah SWT?

2) Ujub- you feel amazed with your own self. Rasa 'ajaib' dengan diri sendir (make sense?) The fact is, Allah is The One who lent you the ability to play. He is The One who moved your limbs so that you can run etc. Supposedly, we should always direct all praises to Allah and be thankful to Him.


3) Takabbur- you feel that you're the best and no one can be compared to you. Takabbur ni, adalah perbuatan membesarkan diri sendiri, padahal Allah jualah Yang Maha Besar. Allahuakbar! What do you feel when you shout this? Just for fun? No. When you shout the takbir, make sure your heart and your whole body understand how Great Allah is. Allah Yang Maha Besar, He is above everything that He created; and you need Him to give you strength. Let that spirit runs in your every vein. Allahuakbar. Indah bukan?

Bukankah Islam itu syumul? Islam is a complete guide, in all aspects of our lives. Of course sports is part of it. It's a form of entertainment. But, how Islamic is the sports world now? And we muslims tend to follow suit whatever the others are doing. We tend to follow what the non-believers do though it transgresses what has been revealed in the Qur'an, just because they excel in this area, right? Shouldn't we believe that whatever Allah has commanded on us, suits our ability? Islam itu tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam.

Just for extra info: here is a video on some of the international football players- and I'm proud to say they are muslims :)



May Allah protect us from associating Him with anything that we know and things we don't know.
May Allah make us among those who are committed to the Quran.
May Allah have mercy on us on the Day of Judgement.

Sunday 20 June 2010

Towards Akhirat

We often ask Allah to solve our dunnia problems.

We often beg Allah to give us dunnia, more dunnia…

But, have we ever asked Allah to help us solve the dunnia problems so that we could get nearer to Him?

Reflection

Betapa takutnya aku sekiranya jahiliyyah ku kembali mengelabui matahatiku. Zaman jahiliyyah ku di mana aku tidak kenal Tuhan dan jahil tentang makna menjadi hamba. Zaman di mana impianku terhimpit pada batasan dunia. Zaman di mana hatiku mati, kontang. Jahiliyyahku bukan kerana aku menyembah berhala, bukan. Tapi, aku menyembah diri sendiri. Melakukan sesuatu demi keselesaan diri sendiri, bukan mencari redha Allah dan keampuanan-Nya.

Lalu, atas takdir-Nya, bumi UK menjadi tempatku mencari makna hidup sebenarnya. Tempat yang asing pada mulanya bagi diriku, menjadi tempat aku kembali kepada fitrahku. I rediscovered the faith. Di sana, aku dipertemukan dengan teman-teman yang punyai matlamat dan arah tuju yang sama, Akhirat. Diri kerdil ini disiram dengan pengisian rohani, dan jiwa ini dikuatkan dengan cerita-cerita dari al-Quran dan hadis. Subhanallah, indahnya perasaan jiwa yang terisi. Betapa kuatnya aku di tanah asing. Musim-musim yang berlalu, membuatkan aku lebih mencintai ciptaan-Nya.

Setiap pertukaran musim membuatkanku sedar akan masa yang berlalu, dan hidupku yang semakin singkat. Apabila aku sedar akan makna sebenar hidup, persepsiku terhadap dunia, berubah. Semangat untuk menyampaikan menjadi berkobar-kobar. Kerana itu, tertulisnya blog, terhasilnya lukisan-lukisan untuk menyampaikan mesej Islam.

Pulang ke tanahair, situasi berbeza menyebabkan aku terhanyut, kembali. Astaghfirullah. Aku sekarang berada dalam zon selesa. Kembali ke tanahair. Kembali ke pangkuan keluarga. Terdedah kepada media massa yang menghamburkan hiburan-hiburan murahan. Terdedah kepada masyarakat yang berstatus Islam yang lain dari apa yang dinyatakan dalam al-Quran. Dan aku hanyut dalam lautan budaya mainstream yang jauh dari nilai agama. Aku menjadi lemah di tanah asalku.

Maka, benarlah kata-kata Saidina Ali bin Abi Talib, yang bermaksud, “Jiwa kamu jika tidak disibukkan dengan ketaatan akan disibukkan dengan kemaksiatan”. Maksiat,secara mudahnya adalah perkara-perkara yang menjauhkan kita dari Allah. Kadang-kadang, bukanlah kita tidak sedar bahawa apa yang kita lakukan itu mempunyai unsur maksiat. Tapi, sangat sukar untuk menguatkan jiwa agar berpisah daripada perkara-perkara maksiat tersebut, kan? Sangat sukar untuk mengakui bahawa apa yang kita lakukan itu, salah… atau ungkapan yang lebih tepat, dosa. Kadang-kadang, pelbagai alasan dihamburkan untuk mengelabui kesalahan perbuatan itu atau meng’halal’kan perkara maksiat. Contohnya, “Aku dah cuba dah, tapi tak boleh. Aku tak mampu.” Aku tak mampu meninggalkan perkara yang menyebabkan saham dosaku berganda. Aku tak mampu meninggalkan maksiat.

Kita lupa, bahwa usaha itu yang dinilai Allah. Kita lupa, bahawa Allah yang memberi kita kekuatan dan ketabahan. Maka, berdoalah. Letakkan perngharapan pada Allah agar Dia menuntun diri kita kepada-Nya. Sedarlah wahai jiwa yang lemah, that Allah is The One who holds our hearts, seolah-olah di antara dua jari yang mana senang sahaja bagi-Nya untuk membolak-balikkan hati kita ini. Maka, kerana itu, aku sangat takut. Sangat takut zaman gelapku kembali. Aku sangat takut kehidupan yang tidak ada arah seperti dahulu.

Pernah satu ketika aku menjadi hairan akan orang yang boleh berubah wataknya apabila berhadapan dengan lain orang. Fulan 1 menjadi baik wataknya apabila berhadapan dengan Fulan 2. Percakapan Fulan 1 menjadi lembut dan tiada kata-kata makian terucap dari lidahnya. Namun, apabila Fulan 2 tiada, Fulan 1 kembali kepada watak asalnya yang asal; kata-katanya kasar, dan ada caci-maki terselit dalam percakapannya. Aku terfikir, kenapa dia berpura-pura baik di hadapan Fulan 2? Apakah Fulan 1 cuma boleh menjadi baik apabila Fulan 2 ada berdekatan? Qudwah hasanah. Fulan 1 melihat ciri-ciri yang baik dalam diri Fulan 2, yang mana tidak terlihat olehya dalam diri fulan-fulan yang lain. Faham tak? Soalan yang patut aku tanyakan pada diri adalah, ‘apa ciri-ciri yang ada pada Fulan 2 yang menyebabkan orang lain juga mahu berperilaku baik?’ Apakah kelemahan diri aku yang menyebabkan orang lain tak ada perasaan segan pun buat maksiat?

Kerana itu, aku butuh teman-teman yang saling memberi peringatan atas dasar saling mencintai. Yang sama-sama berusaha mencari redha-Nya, yang SENTIASA berusaha mencari redha-Nya. Yang mencintai Allah dan Rasul melebihi kecintaan kepada selain keduanya. Yang sama-sama berjanji untuk memperbaiki diri. Teman-teman yang solatnya dan ibadahnya, hidup dan matinya, adalah untuk Allah, Tuhan Semesta Alam. Yang sentiasa berusaha mencari penyelesaian masalah mengikut lunas-lunas yang disyariatkan Allah. Aku perlukan orang yang mengingatkan aku tentang negeri abadi.

Sangat senang untuk berubah secara hakikatnya.

Namun, adalah amat sukar untuk istiqamah. Maka, berdoalah mohon kekuatan daripada-Nya.

Saturday 19 June 2010

reading... WOw! Reading?!

Ada ibu bapa yang amat menekankan aspek akademik ke atas anak masing-masing. Saya agak terpempam apabila ada ibu bapa boleh naik angin apabila anaknya tidak mendapat markah 90 ke atas. Saya dan ibu saya cuma mampu bertukar pandang tatkala mendengar keluhan emak budak tu. Satu, saya memang tak setuju jika keputusan anak yang kurang memuaskan (err...kurang memuaskan ke 90++?) dicanang-canang pada orang sekeliling. Dua, saya sama sekali tidak setuju apabila ibu bapa merendah-rendahkan anak-anak di hadapan orang lain. Kata-kata seperti “ah, anak aku tak boleh harap”, “dia tu pemalas” atau “anak aku tu tak pandai” jika dituturkan di hadapan anak-anak, pasti mencalarkan perasaan. Lagipun, setiap kata-kata anak Adam adalah doa, apatah lagi kata-kata dari ibu dan bapa sendiri.

Ada pula ibu bapa yang cuba memotivasikan anak-anak mereka membaca dengan menjanjikan hadiah yang bermacam-macam. Saya bimbang, sebab kanak-kanak apabila dijanjikan sesuatu yang tidak mungkin ditunaikan, mereka akan hilang kepercayaan pada orang dewasa. Saya tidak mahu mereka jadi begitu. I’ve personally experienced it. I’ve had promised my brother to bring him to the library last December. Nak cari buku kartun Lat. Saya ambil masa beberapa minggu sebelum saya berjaya bawa kereta ke Perpustakaan Negeri Terengganu tu.

Akibatnya, adik saya merajuk dalam beberapa minggu itu. Kesian la pulak.

Tapi, yang saya perhatikan, membaca boleh jadi satu perkara menyeronokkan! Kenapa adik saya beria-ia mahu ke perpustakaan dan mencari buku-buku tersebut? Kenapa sepupu saya tak mahu langsung melihat buku walau disuruh berkali-kali oleh emaknya? Satu, sepupu saya tu merasakan membaca itu satu bentuk hukuman ke atas dirinya yang asyik main je satu hari. Dua, mana la budak-budak mahu membaca tatkala ibu dan bapanya sibuk menonton TV.

Kadang-kadang akibat terlalu taksub pada pencapaian akademik, kita gagal memberi ruang kepada mereka untuk 'reading for pleasure'. Budaya membaca hanya wujud apabila peperiksaan bakal menjelang. Kita gagal mewujudkan satu budaya' membaca atas dasar cintakan ilmu'. Walhal, kalau kita berikan ruang pada sesiapa untuk memilih bahan bacaan mereka, kita akan dapat belajar lebih banyak tentang diri mereka.

Adik perempuan saya sukakan novel. Agak jiwang. Namun, akhirnya saya mengerti, gaya bahasa di dalam novel yang dibacanya sesuai dengan jiwanya. Akhirnya, mutu bahasanya bertambah baik dan gaya penulisannya lebih teratur. Oh, that's why she loves 'Penulisan Bahasa Melayu'. Barulah saya tahu.

Abqari pula sukakan buku-buku fakta. Ensiklopedia dan buku-buku sains menjadi kegemarannya. He loves quizzes.

For muslims, this is the thing to ponder upon: Apa tujuan kita membaca? Sekadar mengisi masa lapang atau untuk mencari ilmu? Kenapa nak cari ilmu? Untuk kepentingan dunia semata-mata atau untuk kita mendekatkan diri pada Yang Maha Pencipta?

Ada tak kita rasakan bahawa 'membaca adalah satu kewajipan' sebagai seorang manusia?
.
.
.
.

Hahah. Sila rujuk surah Al-Alaq, ayat 1-5.

Bacalah (wahai Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang menciptakan (sekalian makhluk), (1) Dia menciptakan manusia dari sebuku darah beku; (2) Bacalah dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah; (3) Yang mengajar manusia melalui pena dan tulisan; (4) Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya. (5)

Ada tak kita rasakan bahawa itu adalah satu arahan? Arahan untuk membaca dan menimba ilmu? Saya juga merasa agak payah untuk mula membaca. Subhanallah, Allah punyai perancangan yang sangat rapi. Allah kurniakan saya sahabat-sahabat yang gemar membaca. Berlainan genre, namun semuanya menuju ke arah matlamat yang sama; iaitu mengenali Allah dan memahami agama ini. Banyak sangat manfaat yang kita peroleh dengan membaca. Sedar tak sedar, membaca mengurangkan tabiat-tabiat bercerita pasal si fulan dan si fulan. Setiap kali berjumpa dengan kawan-kawan, terasa seolah-olah mahu berkongsi apa yang telah dibaca, terlupa langsung nak mengumpat. 'Allow me to enlighten you' heheh. Bahan bacaan yang baik tentu mengandungi peringatan kepada kita orang Islam. InsyaAllah, once you've gained your reading momentum, it's difficult to stop you. And you'll crave to learn more and more and more. Dah baca tu, jangan lupa nak kongsi pula dengan orang lain heheh :) Moga kita sama-sama memanfaatkan antara kita.

daerah yang damai 1

Sembahyang?

Aku sudah 17 tahun, tapi masih gagal memahami erti di sebalik solat. Bagiku, solat adalah satu ritual keagamaan bagi orang yang mengaku dirinya orang Islam. Ada beberapa kalimat yang perlu dihafal dan dibaca setiap kali melakukan pergerakan dalam solat. Namun, tak pernah aku dapat memahami apa yang dibaca. Yang aku tahu, kalau mahu melakukan solat, wajib memakai telekung yang berwarna putih. Aurat perlu ditutup rapi semasa solat. Kalau tak ada kain sembahyang itu, orang perempuan tidak boleh solat. Maka, kalau ada solat berjemaah di sekolah, selalu sahaja aku berpura-pura terlupa membawa telekung sembahyang itu ke sekolah. Tapi, semenjak pihak sekolah menyediakan kain telekung, dengan malasnya aku menapak ke surau sekolah bila masuk waktu Zohor. Kadang-kadang, alasan 'datang bulan' digunakan dan aku dibenarkan duduk di dalam kelas. Kelakar. Masakan guru tidak perasan, aku 'bendera merah' selama 3 minggu setiap bulan.

Kalau di rumah, ayah cuma tahu melibaskan tali pinggang sambil menjerit, "Pergi sembahyang!" Ayah juga malas. Tapi, setelah dileteri oleh emak, barulah ayah bergegas mengambil wudhuk dan solat. 'Mungkin kerana geram kepada emak, ayah lempiaskan kemarahannya pada aku. Aku juga yang kena. Aku juga yang nampak salah dan berdosa.' Aku geram. Ayah tidak pernah menjelaskan makna solat. Pernah diminta penjelasan, namun yang diperolehi cuma herdikan dari ayah. 'Sembahyang sahajalah! Banyak tanya pula!" Emak saudara pula selalu bising-bising apabila aku melengah-lengahkan waktu solat. Sakit telinga dan bengkak hatiku apabila disindir-sindir oleh emak saudara itu. Sekejap lagi, pasti ceritaku melambat-lambatkan solat dicanang-canang pada sesiapa sahaja yang ditemui. Aku benci benar pada emak saudara itu. Kalau boleh, mahu sahaja diganyang orang tua itu. Biar dia sedar kata-katanya itu menyakitkan hati orang lain. 'Sembahyang pun tak gunalah', desis hatiku. Darah muda ini sentiasa menggelegak, marah pada mereka yang bergelar 'dewasa'.

'Solat mencegah perbuatan keji dan mungkar'. Selalu sahaja kata-kata itu ditayangkan di kaca televisyen setiap kali masuk waktu solat. Tapi, tidak pernah aku saksikan sejauh mana praktikalnya kata-kata itu. Emak saudara yang selalu menegur aku itu pun tidak penat-penat mengumpat hal keluargaku. Bukankah mengumpat diibaratkan seperti makan daging saudara sendiri? Bagaimana orang yang melakukan solat itu mampu makan daging mentah sebegitu setiap hari? Hampir sahaja aku muntah apabila membayangkan situasi itu. Kenapa solat tidak menjaga lidah emak saudaraku itu dari mengeji dan menceritakan perihal orang lain? Ada apa dalam solat?

Habis sahaja SPM, aku dihantar ayah ke sebuah pusat pengajian tinggi. Ditakdirkan, aku ditempatkan sebilik dengan seorang gadis bertudung labuh. Mulanya, aku gusar akan bagaimana gadis itu akan menerimaku. Banyak prasangka buruk yang bersarang dalam kepala ini. Sejak sekolah lagi aku dipulaukan gara-gara selalu melempiaskan soalan-soalan pelik kepada ustaz dan ustazah. Aku sudah biasa dilabel dengan gelaran 'budak jahat'. Gadis itu pastinya sama sahaja dengan budak-budak sekolahku dahulu; pasti menjauhkan diri, tidak mahu bergaul dengan 'budak jahat' sepertiku.

"Assalamualaikum."

Aku terkesima. Gadis itu tersenyum manis dan terlebih dahulu menghulurkan tangan kanan. Aku pula teragak-agak menyambutnya. Saat tangan kami bertaut, gadis itu menarikku dekat dan pipi kami bersentuhan. Badanku jadi kaku. Segala prasangka buruk pada gadis itu hilang serta-merta. Bongkah-bongkah amarahku cair perlahan-lahan.

"Wa... waalaikum...salam," aku tergagap-gagap membalas ucapan salam. Ucapan selamat daripada seorang gadis dari Kuala Lumpur, kota metropolitan. Yang dapat aku katakan adalah, dia gadis kota yang dihiasi dengan satu aura kedamaian.

Sudah dua minggu aku tinggal bersama Iman. Yang aku tahu, hampir saban malam teman sebilikku itu bangun pada pukul 4 pagi dan mendirikan solat. Hairan. Solat apa awal pagi begini?

"Baru sembahyang Isyak ke?" akhirnya soalan itu berjaya dilontarkan pada Iman usai solat yang dilaksanakan. Dalam kesamaran lampu meja, aku masih dapat melihat gadis itu cepat-cepat menyapu telekung putihnya ke muka sebelum berpaling kepadaku. Masih ada sisa air mata pada wajah gadis itu.

"Tidak. Alhamdulillah dah solat Isyak sebelum tidur tadi."

"Habis tu? Solat apa?" aku menggaru-garu kepalanya. Tiba-tiba sahaja gatal.

"Solat sunat." Pendek jawapan gadis itu. Jujur. Tidak ada nada sinis dalam kata-katanya. Tidak ada sindiran sebagaimana yang dilakukan oleh emak saudaraku. Melihat Iman seakan-akan mahu meneruskan solatnya, berat hatiku untuk meneruskan perbualan. Spontan aku mengangkat tangan padanya dan kembali merebahkan badan ke atas katil. Namun, mataku tidak mahu lelap. Pukul 5.30 pagi, aku pasrah dengan kedegilan mata ini. Iman pula masih di atas sejadah. Satu keinginan timbul tiba-tiba dalam hati dan rasional akal menyuruhku segera bergegas menuju ke bilik air. Air dingin yang menyentuh kulit terasa begitu menyegarkan. Pantas aku membersihkan diri.

*************
"Aku iqamat?" ujarku sambil menyentuh bahunya dari belakang. Temanku itu berpaling. Dia mengangguk. Wajahnya ceria melihatku.

Setiap kali bahunya menyentuh bahuku, setiap kali itulah aku merasakan suatu perasaan aneh menyelinap ke dalam tubuhku. Rasa kebersamaan. Walaupun aku belum memahami setiap butir kalimat dalam solatku, aku merasa tenang. Seluruh tubuhku merasa ringan, dadaku lapang dan nadiku tenang. Satu ketenangan yang tidak pernah aku rasakan selama ini. Di penghujungnya, bersungguh-sungguh Iman berdoa. Ada esakan kecil yang cuba dilindunginya.

Usai solat, Iman memelukku. Aku yang tidak biasa dipeluk begitu pada mulanya ingin meleraikan pelukan itu dengan kadar segera. Namun, entah kenapa, hatiku memintaku bersabar sedikit. Perlahan-lahan aku membalas pelukannya. Tiba-tiba perasaanku hiba; teringat ayah, teringat emak di kampung. Tidak pernah pula aku solat berjemaah bersama-sama mereka. Mataku berkaca. Aku terharu pada penerimaan Iman terhadap diriku. Aku rasa disayangi. Benar-benar disayangi oleh teman baruku itu.

Nota: ini adalah percubaan menulis sebuah cerpen :)

Monday 7 June 2010

The Ethical Code


Maaf. Sejak akhir-akhir ini, saya banyak berfalsafah. Tapi, insyaAllah, itu bukan falsafah kosong. Ia adalah persoalan yang bersarang dalam dada, terluah supaya setiap orang berfikir sama.

Dalam satu kuliah di maktab, kami didedahkan kepada Kod Etika untuk guru/para pendidik. Sedikit-sebanyak berkisar pada nilai-nilai moral dalam masyarakat.

One question keeps on bugging me, ‘What makes something morally right or wrong?’

Orang kata, setiap profesyen ada kod etika masing-masing. So, what’s the ethical code of a muslim? The Quran, isn’t it?

I understand when the lecturer explained that certain behaviour is not appropriate to be shown to the children. This is because young children do not have the ability to make rational judgement. But, instantly, I remember our beloved Prophet, Muhammad S.A.W. Did Rasulullah S.A.W act differently in front of the children and in front of the other adults? No. He adhered to Allah’s commands every single time. He acted according to what Allah wants him to, till the end of his time. He followed the ‘Ethical Code’ of a muslim, no matter where, when and whom he was with.

Doing things for pleasure? So, what about being homosexual? They’re doing it for pleasure. If we want to debate this matter according to human’s own law, we’ll be flustered with all the questions about human rights. But, if we follow the Qur’an and learn the lesson behind the story of Lut, we know that sodomy is one of the great sins, and thus should be avoided.

Issues like the proper attire for teachers have also been discussed. The debate goes on whether teacher can wear miniskirts to teach. For muslims, do not view this matter from teaching ethiques point of view only. Take a bigger scope. Ask your own self; is it appropriate for a muslim to wear miniskirt in public? The funny thing is, there’s a crowd who thinks that hijab is an act of oppression against women. The guys always complain about necktie; but ironically, necktie is a compulsory. Oops! Some may argue that girls often complain about the heat and their baju kurung etc. But, let us ponder for a while. WHICH/WHOSE RULES SHOULD WE ADHERE TO IN THE FIRST PLACE? Human’s or Allah’s?